6 Kebiasaan Toxic dalam Relationship yang Sering Dianggap Normal
There’s no such thing as a Relationship 101 classes on highschool or university. Okay, mungkin kamu belajar tentang sistem reproduksi manusia di kelas biologi, tentang hukum-hukum pernikahan di kelas agama atau social studies, atau guru bahasa Inggris kamu mungkin pernah kasih tugas baca buku English Lit tentang love stories pada abad ke-19. But let’s face it, when it comes down to actually handling relationships, we’re given no pointers what-so-ever, kalaupun ada juga dari majalah cewek. So yeah, it’s most likely been trial-and-error for all of us, dan kebanyakan dari kita, biasanya lebih banyak error-nya.
Sebagian dari permasalahan ini itu sebenarnya karena unhealthy relationship habits udah nempel sama culture kita. We worship romantic love – itu loh yang kaya di romcom jaman sekarang, padahal asli nya gak kaya gitu. In a way, kita dididik untuk melihat pasangan kita dan relationship kita sebagai objek, yang seharusnya mereka dan relationship itu ada untuk jadi bagian dari emotional support kita.
Untungnya, sudah banyak riset-riset psikologis tentang apa itu healthy and happy relationships, dan ada beberapa points yang perlu diperhatikan. Ada 6 kebiasaan yang kebanyakan couple menganggap itu sebagai normal, padahal sebenarnya toxic banget buat kamu dan pasanganmu:
1, The Relationship Scorecard
Apa itu: Kamu dan pasanganmu ‘keep scores’ atas kesalahan masing-masing, dan saling menyeimbangi skor tersebut. Kamu lupa ga ngabarin pasanganmu hari ini mau pergi sama temen-temen kantor? Gak papa, kan minggu lalu dia juga gak kasih kabar, jadi dia gak boleh marah.
Kenapa itu toxic: Kesalahan pasanganmu minggu lalu tidak membenarkan kesalahanmu yang sekarang, even if apa yang kamu lakukan itu sama persis sama apa yang dia lakukan.
Apa yang seharusnya dilakukan: selesaikan masalah kamu satu-per-satu, kecuali kalau memang masalah tersebut ada hubungannya. Masalah yang sudah selesai juga jangan diungkit-ungkit lagi. Kalau terjadinya minggu lalu, ya dibahasnya minggu lalu and be done with it, jangan minggu lalu diem aja terus begitu pasanganmu call you out on your mistakes baru kamu bahas.
2. Dropping ‘Hints’ and Other Passive-Aggression
Apa itu: Bukannya dikomunikasikan dengan jelas, pasanganmu kasih kode dengan cara melakukan hal-hal kecil yang petty dan annoying supaya mereka merasa berhak untuk complain.
Kenapa itu toxic: Hal ini menunjukan bahwa kalian tidak merasa nyaman untuk berkomunikasi secara terbuka. Hal ini bisa terjadi karena adanya perasaan insecure atau takut di judge.
Apa yang seharusnya dilakukan: State your feelings, opinions, complaints loud and clear. Tapi jangan lupa juga bahwa pasanganmu tidak selalu responsible atas apa yang kamu rasakan.
3. Holding the Relationship Hostage
Apa itu: Hal ini dimaksud ketika kamu atau pasanganmu menjadikan suatu kesalahan kecil sebuah alasan untuk mengakhiri hubungan, think of it as blackmail. Misalnya kamu belakangan ini lagi bersikap dingin, lalu pasanganmu mengekspresikan bahwa dia “tidak bisa berhubungan sama orang yang sikapnya selalu dingin”
Kenapa itu toxic: Ini termasuk kedalam emotional blackmail dan akan menimbulkan banyak banget drama gak penting. Kalau gini caranya, setiap masalah kecil akan terlihat seperti masalah besar yang akan mengakhiri hubungan kalian.
Apa yang seharusnya dilakukan: Its okay kalau kamu gak suka sama beberapa hal-hal yang pasanganmu lakukan. Kalian harus bisa mengekspresikan hal tersebut tanpa judgment atau blackmail agar hubungan kalian sehat.
4. Blaming Your Partner for Your Own Emotions
Apa itu: Misalnya you’re having a real shitty day hari ini terus begitu ketemu pasangan kamu dia sibuk sama hp nya atau they’re being insensitive, jadi gak salah kan kalo kamu marah sama dia karena itu?
Kenapa itu toxic: Kalau pasanganmu gak ada sangkut-pautnya sama kenapa kamu bete, ya jangan lash out ke dia. Menyalahkan emotional state kamu sendiri pada pasangan kamu adalah salah satu contoh that you’re being selfish. Kalau kamu menganggap partner kamu responsible atas segala sesuatu yg kamu rasakan (dan kebalikannya), kalian akan menjadi codependent pada satu sama lain dan akan menimbulkan masalah baru.
Apa yang seharusnya dilakukan: Bertanggung jawablah sama emosi kamu sendiri. Ada perbedaan diantara being supportive untuk pasangan kamu, dan being obligated.
5. Displays of “Loving” Jealousy
Apa itu: Marah ketika pasanganmu berbicara, menyentuh, menelpon, atau sama orang lain yang bukan kamu dalam takaran gak normal yang berniat untuk mengontrol apa yang pasanganmu lakukan itu gak sehat, buat kamu ataupun pasanganmu. Kalau dibiasakan, who’s to say kamu gak jadi obsessed check email, call log, bahkan stalking.
Kenapa itu toxic: Rasa jealous itu ada karena sayang? Engga lah. Jealousy yang berlebihan itu manipulasi dan controlling. Dengan kamu tidak percaya dengan pasanganmu sendiri, secara tidak langsung kamu menganggap memang dia pada dasarnya pembohong atau tidak bisa mengontrol dirinya sendiri in any given situation
Apa yang seharusnya dilakukan: TRUST. YOUR. PARTNER. Rasa jealous yang berlebihan itu merefleksikan diri kamu sendiri yang merasa unworthy, and akan lebih baik jika kamu menyelesaikan masalah itu tanpa harus memaksakannya pada pasanganmu.
6. Buying the Solutions to Relationship Problems
Apa itu: Setiap sedang ada konflik atau masalah dalam relationship kamu, bukannya diselesaikan, kamu malah menutupinya dengan memberikan pasanganmu kado atau hadiah.
Kenapa itu toxic: Masalah yang tidak diselesaikan akan selalu muncul terus, the next time even worse than the last. Terlebih lagi, kebiasaan ini akan menimbulkan yet another toxic habit dimana: 1) pasanganmu akan terus bertingkah supaya terus mendapatkan hadiah atau a nice dinner at a fancy restaurant. 2) kamu tidak akan belajar dari kesalahan kamu yang sebelumnya dan akan mengulanginya lagi.Apa yang seharusnya dilakukan: Jangan pernah membuat sesuatu yang spesial seperti kado atau date night sebagai cara untuk menutupi masalah kalian. Melakukan sesuatu hal yang spesial – bahkan setelah adanya konflik – itu bagus untuk menunjukan solidaritas dan commitment, tapi hanya setelah masalah itu benar-benar selesai.
“Tarot reading is an attempt to understand ourselves better and discover how we might live better in the future”
Tunggu apa lagi? Yuk Narot!
Instagram: @mayanov_
Pricelist & Services
0 Comments